Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta dengan tegas kepada pemerintah untuk mencabut kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit atau CPO. Kebijakan itu diklaim menghambat pelaku usaha untuk melakukan ekspor CPO yang berdampak pada gangguan sistem rantai pasok industri sawit nasional.
Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, mengatakan, hanya dengan pencabutan DMO, ekspor CPO nasional bisa kembali normal. “Ekspor bisa bergelinding apabila DMO yang ribet ini dihapuskan,” kata Sahat dalam dialog virtual di Jakarta, Senin (25/7/2022).
DMO merupakan kebijakan yang mewajibkan para eksportir CPO untuk memasok terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri. Pasokan DMO dikhususnya untuk memproduksi minyak goreng curah yang ditargetkan setiap bulan terdapat 300 ribu ton minyak goreng curah.
Pelaku usaha yang telah memenuhi DMO akan mendapatkan izin kuota ekspor tujuh kali lipat dari volume DMO yang telah digelontorkan.
Sahat mengatakan, kelancaran pelaksanaan DMO sangat tergantung pada distributor lokal. Banyak eksportir CPO yang selama ini tidak memiliki jaringan di pasar domestik sehingga pengusaha merasa kesulitan melaksanakan DMO.
“Jadi ekspor bisa jalan kalau mereka berdagang dulu di domestik, lalu kumpul-kumpul (volume) sejumlah tertentu, baru dapat persetujuan ekspor, sesudah itu cari kapal. Yah, kalau begini, kapan mau jalan?” katanya.
Lebih lanjut, Sahat menilai, kebijakan pemerintah dalam mengatur CPO pun kerap berubah-ubah. Dari semula mekanisme DMO, subsidi, lalu kembali pada DMO. Ia menilai, pemerintah seolah tidak memahami akan kebijakan yang ditempuh.
GIMNI pun menyarankan, setelah DMO dicabut, program pemerintah untuk mengamankan pasokan minyak goreng domestik sebaiknya diberikan kepada BUMN. Yakni Perum Bulog dan ID Food. Kedua BUMN tersebut sudah memiliki jaringan hingga ke 34 provinsi di Indonesia.
Ia memahami, pemerintah masih mengkhawatirkan jika DMO dicabut akan terjadi kelangkaan CPO dalam negeri. Namun, dengan keberadaan BUMN semestinya program-program pemerintah tetap bisa berjalan.
“Pemerintah ada Bulog, ID Food, kenapa tidak dipakai? Saya hitung-hitung mereka perlu modal kerja Rp 4,6 triliun itu bisa dipakai dari dana BPDPKS. Mereka bisa kontrol barangnya, kalau swasta tidak ada keahlian untuk itu,” kata Sahat.
*) Republika