Israel, sebuah negara yang sering dianggap memiliki semangat besar untuk menciptakan Israel Raya, menghadapi kontroversi besar terkait serangan terbarunya di wilayah Gaza dan Tepi Barat. Serangan tersebut, yang dianggap sebagai bentuk ekspansi teritorial, menuai kecaman karena dianggap melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia.
Dalam siaran Prime Time bersama Arlingga Panega dan Indy Rahmawati, Yon Machmudi selaku pakar kajian Timur Tengah membahas perlukah Indonesia bereaksi keras usai RS Indonesia di Gaza digempur Israel?
Menurut Yon, Pemerintah Israel disorot karena melibatkan serangan yang terkadang dianggap sebagai pembunuhan daripada peperangan, terutama serangan terhadap fasilitas-fasilitas medis, seperti rumah sakit. Salah satu contoh yang mencengangkan adalah klaim bahwa rumah sakit di Gaza dianggap oleh Israel sebagai penyuplai bahan bakar bagi tentara Hamas, suatu klaim yang dianggap tidak masuk akal mengingat rumah sakit biasanya memiliki persediaan bahan bakar untuk menjalankan operasional mereka.
BACA JUGA: Israel dan Hamas Capai Kesepakatan Gencatan Senjata untuk Pembebasan Sandera di Gaza
Kondisi di Gaza yang tidak menentu selama bertahun-tahun, dengan ketidakpastian listrik, air, dan bahan bakar, memberikan tantangan besar bagi rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Serangan yang begitu masif dari Israel memperburuk situasi ini, bahkan dengan klaim bahwa sisa-sisa bahan bakar yang sedikit pun dicurigai sebagai dukungan untuk Hamas, memberikan dasar bagi serangan lebih lanjut.
Meskipun lembaga-lembaga internasional, termasuk PBB, mencoba menekan Israel untuk menghentikan serangan melalui gencatan senjata, kekuatan besar seperti Amerika dan Inggris gagal memberikan respons tegas. Upaya-upaya ini terbatas pada bantuan kemanusiaan setelah beberapa hari serangan dihentikan, tetapi dampaknya sangat minim ketika fasilitas medis rusak dan kebutuhan dasar masyarakat Gaza tidak terpenuhi.
“Israel itu kan punya semangat great Israel ya. Israel raya yang memang itu di glorifikasi ke mana-mana bahwa Israel adalah negara besar. Israel meliputi semua wilayah termasuk yang ada di Gaza dan tepi barat. Sehingga mereka bisa melakukan apa saja termasuk juga melanggar hukum internasional,” ujar Yon
Pertanyaan muncul mengenai ketidakmampuan negara-negara besar untuk menyebut tindakan Israel sebagai pelanggaran internasional, sebagian karena Israel sering kali menggunakan retorika masa lalu, mengaitkan diri dengan pengalaman persekusi dan membandingkan tindakannya dengan tindakan negara-negara besar lainnya dalam sejarah, seperti serangan Amerika dan Inggris di masa perang dunia kedua.
Perbedaan pandangan antara generasi lama, yang cenderung mendukung Israel, dengan generasi muda, yang lebih cenderung mendukung Palestina, menciptakan ketegangan dalam penanganan konflik ini. Di dalam Israel, terdapat pergeseran pandangan di kalangan generasi muda yang lebih liberal, yang melihat pentingnya mencapai perdamaian dan koeksistensi dengan Palestina. Namun, masih terdapat ketidaksetujuan dari kelompok konservatif yang mengajarkan indoktrinasi generasi ke generasi.
BACA JUGA: Israel Klaim Serangan ke Rumah Sakit Indonesia Sesuai Hukum Internasional
Di tengah desakan internasional dan kecaman terhadap serangan terkini, termasuk pesan tegas dari Presiden Jokowi kepada Israel, respons dari negara-negara besar seperti Amerika yang terkesan menghindari pembicaraan langsung mengenai masalah ini menciptakan kebingungan. Sejumlah pihak berpendapat bahwa peran negara-negara besar, seperti China dan Rusia, mungkin menjadi kunci untuk mengubah dinamika konflik ini dan mencapai keseimbangan yang lebih adil.
“Kalau kita lihat pesan Pak Jokowi itu kan beliau sudah menyampaikan secara tegas tetapi Biden tidak merespon sama sekali ya, justru mengalihkan pembicaraan dan enggan, apa yang enggan untuk membicarakan masalah itu. Saya kira tekanan publik dunia internasional sangat penting karena biar bagaimanapun penduduk atau komunitas di suatu negara itu kan sangat diperlukan ya.” ujar Yon
(*/)
(RRY)