Senin kemarin, (27/11/2023), informasi tentang kebocoran data pemilih mencuat ke permukaan, menyisakan banyak pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sekitar 204 juta data dilaporkan bocor dan dijual dengan harga yang mencapai 1,14 miliar rupiah. Pertanyaan muncul, apakah data kita termasuk di dalamnya?
Pada “Prime Time,” bersama Arlingga Panega dan Indy Rahmawati membahas kebocoran dana pemilih yang terjadi belakangan ini. Dalam siaran pagi hari ini, Alfons Tanujaya, seorang Spesialis Keamanan Teknologi Informasi dari Vaksin.com, memberikan pencerahan terkait potensi bahaya dari kebocoran data ini.
Menurut Alfons, pelakunya terlihat memiliki track record yang unik. Terdapat kesamaan dengan pelaku yang sebelumnya mengklaim bisa membuka rekening di salah satu bank swasta nasional hanya dengan memberikan nomor rekening. Pencuri data ini, yang disebut “Jimbo,” seakan menjadi sorotan di Bridge Forums.
Ketidakpastian muncul terkait apakah data yang bocor merupakan data pemilih tetap, dan bagaimana data tersebut dapat dimanfaatkan. Dalam pembicaraan dengan penyiar, Alfons menggarisbawahi dua potensi bahaya utama: kejahatan finansial, seperti pembukaan rekening bodong, dan risiko keamanan pemilu dan delegitimasi.
BACA JUGA: Sering Selfie dengan Boarding Pass? Bisa jadi Kalian Adalah Korban Cyber Hackers
“Potensi bahayanya ada dua. Satu yang sudah dialami hari ini, bahwa data itu dipakai Untuk kejahatan untuk buka rekening bodong. Lalu melakukan kejahatan APK palsu membobol rekening orang lalu hasil penipuan itu ditransfer ke rekening bodong yang dibuka pakai identitas palsu ini nah ini menyuburkan kejahatan cyber Itu yang pertama Yang kedua yang umum juga Kita jadi korban dari telemarketing Kita jadi korban spamming
Seiring dengan penelusuran yang dilakukan oleh KPU, kepolisian, dan Badan Siber dan Sandi Negara, pertanyaan muncul terkait tanggung jawab pengelolaan data. Alphonse menyoroti bahwa pentingnya menerapkan standar keamanan seperti ISO 27001 dan menyerahkan pengelolaan data kepada ahli yang mengerti.
Ketika pembicaraan melibatkan pemilu dan keamanan digital, pembahasan mengenai dampak politis juga muncul. Delegitimasi pemilu dapat menjadi ancaman serius, terutama jika data yang bocor digunakan sebagai alat untuk meragukan hasil pemilihan.
Dalam konteks ini, Alfons menyoroti bahwa perlindungan data dan keamanan siber tidak hanya tanggung jawab KPU, tetapi juga tuntutan kepada semua pihak yang terlibat dalam pemilu. Dia menekankan pentingnya mewaspadai serangan siber dan melibatkan generasi muda yang mengerti teknologi untuk menjaga keamanan digital.
Pada akhirnya, kesadaran dan kerja sama dari semua pihak diperlukan untuk mengatasi tantangan keamanan digital di tengah dinamika politik. Pemilihan umum yang aman dan kredibel adalah kepentingan bersama, dan langkah-langkah konkret perlu diambil untuk menjaga integritas data pemilih dan keamanan pemilu secara keseluruhan. (*/)
(RRY)