Sebuah kontroversi baru-baru ini mengguncang lingkungan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait dengan aliran dana pinjaman online (pinjol) yang disalurkan kepada para mahasiswa. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Fanshurullah Asa, mencatat bahwa pinjaman senilai Rp450 miliar telah disalurkan kepada mahasiswa ITB oleh empat perusahaan pinjol utama.
Perusahaan-perusahaan tersebut, antara lain PT Dana Bagus Indonesia (DanaBagus), PT Cicil Solusi Mitra Teknologi (Cicil), PT Fintech Bina Bangsa (Edufund), dan PT Inclusive Finance Group (Danacita), diduga melanggar UU Pendidikan Tinggi. Porsi terbesar pinjaman disalurkan oleh Danacita, mencapai 83,6 persen.
Menurut KPPU, produk pinjaman dengan bunga tidak selaras dengan UU Pendidikan Tinggi, yang melarang pemberian pinjaman berbunga sesuai Pasal 76 UU tersebut. Fanshurullah Asa menegaskan bahwa pinjaman mahasiswa yang memuat berbagai biaya bulanan yang menyerupai bunga serta dengan durasi tertentu dapat dianggap melawan hukum dan dapat mengganggu persaingan usaha yang sehat.
Sebagai tanggapan, KPPU akan memanggil perusahaan-perusahaan tersebut untuk menjelaskan tindakan mereka. KPPU juga berencana melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam penyelidikan lebih lanjut.
BACA JUGA: Bagaimana Skema Student Loan yang Sedang Dikaji Sri Mulyani?
Kasus ini menjadi viral pada awal 2024 setelah terungkap bahwa ITB telah menjalin kerja sama dengan perusahaan pinjol untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa sejak tahun 2023. Reaksi keras datang dari kalangan mahasiswa ITB yang mengecam komersialisasi pendidikan di salah satu kampus negeri terkemuka di Indonesia.
Di sisi lain, Direktur Utama Danacita, Alfonsus Wibowo, membela Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) sebagai salah satu solusi alternatif bagi mahasiswa dan wali dalam membayar UKT. Namun, Alfonsus menegaskan bahwa Danacita tidak memaksa mahasiswa atau wali untuk menggunakan layanan tersebut.
Pihak Danacita menegaskan bahwa mereka tidak menginginkan kampus mitra memaksa mahasiswanya untuk menggunakan layanan pendanaan tersebut.
Kontroversi ini mencerminkan kompleksitas peran pinjaman online dalam konteks pendidikan tinggi dan menyoroti pentingnya menghadirkan solusi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip integritas dan keadilan. Seiring dengan investigasi lebih lanjut, masyarakat menantikan kejelasan mengenai nasib pinjaman online dalam ekosistem pendidikan tinggi Indonesia. (*/)
(RRY)