Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengumumkan pergantian nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) pada 2025.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti menyatakan, bahwa pergantian nama tersebut diberlakukan karena selama ini pemahaman masyarakat luas mengenai penerimaan murid baru masih kurang tepat.
Merespons penggantian PPDB menjadi SPMB Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan sejumlah catatan.
1. Sekadar perubahan nama dan percobaan utak-atik
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Mansur Sipinathe memandang perubahan yang dilakukan oleh Kemendikdasmen sebagai sekadar perubahan istilah yang belum menyentuh akar permasalahan.
2. Pemerataan mutu yang semakin jauh
Salah satu perubahan signifikan dalam SPMB adalah penyesuaian kuota jalur masuk tingkat SMA, di mana jalur domisili, afirmasi, dan prestasi masing-masing mendapat proporsi 30-35 persen. FSGI mengkritisi kebijakan ini karena berpotensi memperlebar kesenjangan mutu pendidikan.
Sebagai informasi, dalam sistem lama PPDB, kuota tingkat SMA sebesar 50 persen dialokasikan untuk jalur domisili, sementara sisa kuota dapat digunakan untuk jalur prestasi.
3. Pelibatan sekolah swasta yang prematur
Sebelumnya Staf Ahli Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemendikdasmen, Biyanto mengatakan, bahwa apabila daya tampung sekolah negeri penuh, siswa yang tidak tertampung akan diarahkan ke sekolah swasta dengan biaya ditanggung oleh pemerintah daerah (pemda).
Mansur Sipinathe menilai, rencana pelibatan sekolah swasta dalam SPMB masih prematur. FSGI pesimis dengan kebijakan Kemendikdasmen untuk mengarahkan siswa yang gagal ke sekolah negeri ke sekolah swasta.
4. Tantangan implementasi di lapangan
FSGI menekankan bahwa masalah sebenarnya bukan pada sistem, melainkan pada implementasi. Selama ini, berbagai pelanggaran seperti pemalsuan dokumen dan manipulasi kuota masih terjadi.
5. Sistem Dapodik masih lambat
Dalam konteks perubahan sistem penerimaan siswa baru, konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan menjadi kunci utama. FSGI menegaskan, tanpa adanya standar yang jelas dan mekanisme teknis yang terintegrasi secara nasional, kebijakan ini berisiko berjalan tidak optimal dan justru menimbulkan kesenjangan baru.
#
(Muhammad Nuzul Ramadhan-Redaksi)