Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut serta dalam menyukseskan aksesi keanggotaan Indonesia pada Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), salah satunya melalui Lokakarya dan Diskusi Teknis Konvensi Anti-Penyuapan OECD (OECD Anti Bribery Convention) pada 10-14 Februari 2025, yang diselenggarakan atas dukungan Pemerintah Jepang, di Jakarta.
Dalam sambutannya, Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa lokakarya tersebut penting untuk meningkatkan pemahaman mengenai urgensi konvensi anti-penyuapan, terutama mengenai manfaatnya bagi Indonesia, bagaimana kriteria dan prosedur aksesinya, serta apa saja pengalaman dan pelajaran yang dapat dipelajari dari negara yang telah menjalani proses aksesi tersebut sebelum Indonesia.
Menurut Setyo, konvensi anti penyuapan OECD bertujuan untuk memastikan pelaku bisnis internasional dapat berkompetisi secara adil di suatu negara. Praktik suap dapat memberikan keuntungan tidak sah bagi pelaku bisnis dengan memperoleh kemudahan dari pejabat publik asing. Oleh karena itu, aksesi konvensi tersebut menjadi langkah penting dalam memperkuat sistem hukum nasional.
Konsep mengenai penyuapan pejabat publik asing atau sering disebut dengan foreign bribery, saat ini masih belum terlalu dikenal di Indonesia. Indonesia juga belum memiliki instrumen hukum yang dapat memidanakan subjek hukum dalam negeri yang melakukan penyuapan pejabat publik negara asing.
Dengan demikian, lokakarya tersebut menjadi bagian penting agar para perancang hukum dan pengambil kebijakan di Indonesia dapat menerapkan pemahaman yang diterima dalam merumuskan penyelarasan peraturan perundang-undangan Indonesia dengan Konvensi Anti-Penyuapan OECD, untuk mendukung masuknya Indonesia menjadi anggota OECD, sejalan dengan kepentingan nasional dan cita-cita menuju Indonesia Emas 2045.
Urgensi Aksesi Konvensi Anti-Penyuapan OECD
Pemerintah Indonesia telah memulai proses aksesi keanggotaan pada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang ditandai dengan diterimanya Peta Jalan Aksesi OECD Indonesia pada Maret 2024. Salah satu prasyarat utama dalam proses tersebut adalah aksesi terhadap Konvensi Anti-Penyuapan OECD, yang menjadi instrumen hukum utama dalam mendukung tata kelola yang bersih dan adil dalam perdagangan global.
Konvensi Anti-Penyuapan tersebut mewajibkan setiap negara pihak untuk menetapkan penyuapan terhadap pejabat publik asing sebagai tindak pidana, termasuk menetapkan sanksi yang tegas bagi individu maupun badan hukum yang terlibat, guna menjaga transparansi dan integritas dalam perdagangan global. Konvensi Anti-Penyuapan OECD atau Pemberantasan Penyuapan Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis Internasional tersebut juga merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang fokus untuk memerangi penyuapan transnasional dalam bisnis.
Dalam peta aksesi Indonesia setidaknya terdapat 272 instrumen, dengan 6 instrumen di antaranya memuat persoalan antikorupsi, termasuk menyoal Konvensi Anti Penyuapan OECD. Konvensi Anti-Penyuapan OECD ini mencakup 17 pasal yang mengatur berbagai aspek pemberantasan penyuapan, mulai dari kriminalisasi tindakan suap, pemidanaan korporasi, kerja sama internasional, hingga pemberian sanksi yang tegas.
Setyo menjelaskan, memerangi segala bentuk penyuapan adalah kunci untuk menciptakan ekosistem bisnis yang bersih, persaingan usaha yang sehat, serta menarik investasi berkelanjutan. Dengan demikian, integritas pasar internasional dapat terjamin di era ekonomi global.
KPK sebagai Koordinator Bidang Antikorupsi
KPK telah ditunjuk sebagai koordinator bidang antikorupsi dalam Tim Nasional Persiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia dalam OECD. Untuk itu, KPK berkomitmen untuk aktif berpartisipasi dalam regulasi yang diperlukan agar Indonesia dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh OECD dan berhasil melalui evaluasi Working Group on Bribery (WGB) sebelum secara resmi mengaksesi Konvensi tersebut.
Dalam forum tersebut, Deputy Director Directorate for Financial and Enterprise Affairs, OECD, Nicolas Pinaud, yang hadir secara daring, menegaskan bahwa Indonesia merupakan kandidat anggota OECD pertama di Asia Tenggara yang mengupayakan keanggotaan tersebut. Dengan mengadopsi standar kebijakan global, Indonesia dapat memperkuat tata kelola pemerintahan serta ekosistem investasi yang lebih kompetitif.
Sementara di kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menuturkan, dengan bergabungnya Indonesia menjadi bagian OECD ke depan, penguatan regulasi termasuk penyempurnaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), menjadi langkah strategis yang dapat dicapai.
Bahkan, jika konvensi terkait dapat diratifikasi, maka cakupan pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada penyimpangan dalam penggunaan APBN, tetapi juga mencakup penerapan praktik terbaik dalam sektor swasta. Hal ini menjadi krusial dalam membangun kepercayaan terhadap perdagangan internasional dan menciptakan lingkungan investasi yang sehat.
Sejalan dengan upaya tersebut, pemerintah juga telah mengambil langkah strategis melalui omnibus law, yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, bersama dengan Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Yasushi Masaki, menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap KPK dan pemerintah Indonesia atas upaya berkelanjutan dalam mempercepat proses aksesi Indonesia menuju keanggotaan OECD. Bahkan, Masaki berjanji pihaknya akan terus memberikan dukungan dan menjadi suporter yang kuat untuk Indonesia, hingga menjadi bagian dari keanggotaan OECD.
Rafa Natha – Redaksi