Aksi penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih terus berlanjut. Bahkan, dalam beberapa aksi protes, terjadi tindak kekerasan oleh pihak keamanan terhadap jurnalis, yang kemudian mendapat kecaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut mengkritik pengesahan UU ini. Menurutnya, TNI seharusnya tetap fokus pada tugas utamanya di bidang pertahanan dan keamanan, tanpa mencampuri urusan lain di luar tugasnya. Pemerintah beralasan bahwa revisi UU TNI diperlukan karena UU sebelumnya dianggap usang dan tantangan zaman sudah berubah. Namun, Usman menilai bahwa jika alasan tersebut digunakan, seharusnya pemerintah juga merevisi beberapa UU lain yang lebih ketinggalan zaman terkait peran TNI, seperti UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan UU Keadaan Darurat Tahun 1959.
Selain aksi protes di lapangan, tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) juga mengajukan gugatan uji formil terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berpendapat bahwa proses pembahasan UU ini bermasalah karena tidak melibatkan partisipasi publik sebagaimana mestinya.
Usman Hamid berpendapat bahwa UU TNI diproses secara tergesa-gesa dan tidak terbuka. Sejak Surat Presiden dikirim ke DPR pada 18 Februari hingga disahkan pada 20 Maret, tidak ada naskah resmi yang diunggah ke situs DPR. Bahkan, Usman mengaku kesulitan mendapatkan draf resmi UU tersebut karena harus terus mengejarnya. Menurutnya, seharusnya dokumen tersebut bisa diakses dengan mudah oleh publik, termasuk mahasiswa, agar dapat memberikan masukan yang bermakna.
Dengan tidak adanya keterbukaan dan partisipasi yang bermakna, gugatan uji formil yang diajukan mahasiswa UI ke MK dinilai sebagai langkah yang wajar. Usman pun mendukung langkah mahasiswa UI Fakultas Hukum ini, untuk menggugat UU TNI ke MK
Andhika Rakatama – Redaksi