Pengemudi ojek online (ojol) menggelar aksi demonstrasi di berbagai wilayah sebagai bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan yang dinilai merugikan mereka. Aksi tersebut juga disertai dengan off-bid massal, di mana para pengemudi secara serempak menonaktifkan aplikasi mereka sebagai bentuk tekanan kepada pihak penyedia layanan dan pemerintah, terkait kesejahteraan, tarif, dan perlindungan kerja yang belum mendapat penanganan memadai. Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno mengatakan hal ini sudah dibahas sejak 2016, namun hingga kini belum ada penyelesaian yang konkret. Isu tersebut sudah berkaitan dengan lapangan pekerjaan, bukan lagi sekadar persoalan transportasi.
Djoko mengatakan pada 2016, sempat beredar pernyataan yang menyebut pengemudi ojol bisa memperoleh pendapatan hingga delapan juta rupiah per bulan. Hal tersebut membuat banyak orang beralih profesi menjadi pengemudi ojol, mengingat pendapatan tersebut melebihi rata-rata gaji pekerja kantoran yang saat itu berada di kisaran lima hingga tujuh juta rupiah. Namun, kenyataan di lapangan tidak sebanding dengan pernyataan tersebut. Djoko juga menyampaikan bahwa dirinya mendapat informasi mengenai adanya perintah dari presiden kepada Menteri Perhubungan untuk mempertahankan sistem seperti ini, karena negara belum mampu menciptakan lapangan kerja alternatif.
Djoko beranggapan, menciptakan lapangan kerja baru tidak harus selalu memperbanyak ojol. Pengembangan transportasi umum yang baik juga bisa menjadi sumber pekerjaan baru sekaligus solusi jangka panjang. Meningkatkan kualitas transportasi publik bukan hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih tertib dan beradab. Menurut Djoko, jika jumlah pengemudi ojol terus ditambah, justru akan merugikan secara ekonomi. Biaya operasional menjadi tinggi karena satu pengemudi hanya bisa mengangkut satu penumpang. Berbeda dengan transportasi umum yang mampu mengangkut banyak orang sekaligus, sehingga lebih efisien dan ramah lingkungan.
Andhika Rakatama – Redaksi