Gubernur Jawa Barat, Deddy Mulyadi, merencanakan program keluarga berencana melalui vasektomi yang akan dijadikan syarat bagi penerima bantuan sosial (bansos) di provinsinya. Namun, rencana ini menuai kritik dari berbagai pihak. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai bahwa kebijakan seperti ini seharusnya merupakan kebijakan nasional yang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat. Jika diterapkan secara mandiri oleh daerah, dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan dalam implementasi di daerah lain serta berpotensi memunculkan benturan kebijakan.
Trubus juga mengkhawatirkan dampak kontraproduktif dari rencana tersebut, terutama jika vasektomi dijadikan syarat mutlak untuk mendapatkan bansos. Menurutnya Trubus, bantuan sosial seharusnya dihitung per kepala keluarga (KK), bukan berdasarkan jumlah anggota keluarga. Trubus mengatakan bahwa tidak semua keluarga bisa disamakan, apalagi yang memiliki anak hanya dua orang. Trubus menyetujui jika program ini ditujukan khusus bagi golongan miskin ekstrem. Trubus memberi contoh keluarga dengan banyak anak yang berada dalam kondisi ekonomi sangat sulit, karena dikhawatirkan anak-anak tersebut tumbuh dalam kondisi kurang gizi, tidak produktif, dan tidak kompetitif.
Trubus juga menyoroti persoalan pengawasan terhadap kebijakan ini yang menurutnya cukup sulit. Trubus mengingatkan agar pemberian bansos diperhatikan dengan baik dan tidak disamaratakan, serta harus mempertimbangkan konteks masing-masing keluarga. Selain itu, kebijakan ini juga dinilai berpotensi menyinggung isu hak asasi manusia dan agama, karena negara seolah-olah membatasi hak keluarga dalam menentukan jumlah keturunan. Kekhawatiran lain yang muncul adalah jika pengawasan terhadap pelaksanaan vasektomi ini lemah, maka bisa menjadi celah munculnya praktik kriminal oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Andhika Rakatama – Redaksi