Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan signifikan impor pakaian bekas dengan kode HS 63090000 sepanjang Januari–Juli 2025. Nilainya mencapai 1,31 juta dollar AS atau sekitar Rp 21,6 miliar (kurs Rp16.500 per dollar AS), naik 177 persen dibanding periode yang sama tahun lalu senilai 473.340 dollar AS. Angka itu hampir menyamai realisasi impor sepanjang 2024 yang sebesar 1,5 juta dollar AS.
Secara volume, tren berbeda terlihat. Impor pakaian bekas menyusut dari 1,95 juta kilogram pada Januari–Juli 2024 menjadi 1,09 juta kilogram pada periode yang sama tahun ini. Padahal impor pakaian bekas sudah dilarang melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Ketua Umum Asosiasi Indonesia Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman menyebut lonjakan impor itu sangat merugikan pelaku konveksi dalam negeri. “Kami para pelaku usaha lokal sangat kaget mengetahui begitu besar pakaian bekas masuk ke Indonesia. Banyak industri kecil dan menengah (IKM) gulung tikar, bahkan ada yang terpaksa tutup-buka usaha konveksi sesuai pesanan,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (11/9/2025). Menurut Nandi, maraknya perdagangan pakaian bekas menekan penjualan produk konveksi lokal. “Kami kehilangan banyak pelanggan, baik penjual offline maupun online yang dulu banyak bekerja sama dengan IKM,” tambahnya.
Meski begitu, ia menyebut kondisi mulai menunjukkan perbaikan pada pertengahan tahun. “Alhamdulillah sekarang sudah mulai ada beberapa pemesanan masuk ke pelaku usaha konveksi, terutama setelah terbitnya aturan baru dalam Permendag Nomor 17 Tahun 2025,” katanya. Nandi menilai meningkatnya impor pakaian bekas dipicu dua faktor. Pertama, tingginya minat konsumen pada pakaian bermerek dengan harga murah. Kedua, melemahnya daya beli masyarakat akibat meningkatnya pengangguran.
IPKB meminta pemerintah memperkuat perlindungan pasar domestik agar produk konveksi lokal tidak kalah bersaing.
“Pemerintah harus menjaga pengawasan agar produk impor ilegal tidak banyak lolos. Selain itu, perlu ada pendampingan agar pelaku IKM bisa bersaing, ditambah akses permodalan, restrukturisasi mesin, dan penambahan sentra IKM,” tegas Nandi.