Pemerintah bersiap mengeksekusi salah satu program termahal dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia, Makan Bergizi Gratis (MBG). Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengatakan mulai Januari 2026, program MBG diproyeksikan menyedot anggaran senilai Rp 1,2 triliun per hari untuk memberi makan bergizi kepada 82,9 juta anak di seluruh penjuru negeri.
“Insya Allah tahun depan kita akan mulai dari Januari dengan 82,9 juta (anak) dan Badan Gizi Nasional akan spending Rp 1,2 triliun per hari,” ujar Dadan, Selasa (9/9/2025).
Ia menggambarkan besarnya angka tersebut dengan perbandingan yang mencolok. Di mana dana MBG per hari sama dengan setengah anggaran tahunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas.
Dadan menyampaikan, Nah ini sama dengan setengah anggaran Kementerian Perencanaan Pembangunan satu tahun ya. Jadi dua hari BGN sama dengan satu tahun (Anggaran) Perencanaan Pembangunan Nasional, memang Menteri PPN sangat penting tapi untuk anggaran mohon maaf pak. Hingga kini, realisasi anggaran MBG masih jauh dari target. Dari total anggaran 2025 sebesar Rp 71 triliun, baru Rp 13 triliun yang terserap. Meski begitu, infrastruktur pelaksanaan terus berkembang.
Tercatat ada 7.475 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) alias dapur umum yang aktif melayani lebih dari 25 juta orang.
“Jadi kita sudah hampir bisa melayani 1 penduduk seluruh benua Australia atau empat negara Skandinavia,” kata Dadan, menggambarkan skala penerima manfaat yang telah tercapai.
Program ini tidak sepenuhnya bergantung pada dana APBN, melainkan juga melibatkan kontribusi dari mitra. Hingga saat ini tercatat sudah ada 29.000 SPPG yang mendaftar. Estimasi biaya pembangunan setiap unit mencapai Rp 2 triliun, namun seluruhnya ditanggung oleh mitra MBG, bukan BGN.
Dadan menegaskan, keberadaan SPPG akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Satu unit SPPG mampu menyerap sekitar 50 tenaga kerja langsung. Selain itu, operasionalnya juga membutuhkan 15 pemasok bahan baku seperti beras, sayuran, lauk, hingga kebutuhan logistik.
Para pemasok ini pun tidak bisa bekerja sendiri, melainkan memerlukan tambahan tenaga seperti buruh, sopir, maupun pekerja gudang. Dengan begitu, keberadaan satu SPPG saja dapat menggerakkan rantai ekonomi yang lebih luas dan menciptakan efek berganda (multiplier effect) bagi masyarakat sekitar.
“Jadi ini bukan uang pemerintah, ini uang masyarakat. Selain itu juga dampak ekonominya luar biasa karena satu SPPG mempekerjakan 50 orang, satu SPPG membutuhkan 15 supplier dan setiap supplier pasti membutuhkan SDM pendukungnya,” ucapnya.
Fito Wahyu Mahendra – Redaksi