Beo Motinggo oleh Flaneur Kolektif adalah pertunjukan teater yang bereksperimen dalam wilayah-wilayah elemen artistinya serta berupaya mencari bentuk-bentuk baru dalam pengungkapan suatu isu. Pertunjukan ini disutradarai oleh Said Riyadi Abdii, seniman muda yang sedang bersemangat-semangatnya menjelajahi kemungkinan-kemungkinan lain pengungkapan suatu isu dalam seni pertunjukan melalui perspektifnya yang unik dan kekinian agar relevan dengan perkembangan dan kecenderungan-kecenderungan anak muda.
Naskah Beo Motinggo sendiri adalah naskah yang mendapatkan penghargaan sebagai Naskah Istimewa pada Sayembara Naskah Teater Rawayan Award 2022 Dewan Kesenian Jakarta. Naskah ini mengambil perspektif yang unik dalam membaca tragedi politik tahun 1965 dengan mempersandingkannya (spekulasi) dengan naskah drama Malam Jahanam karya Motinggo Boesje menggunakan logika hipertaut. Menurut pengakuan penulisnya, naskah ini disusun dari berbagai hiperteks yang muncul setelah mengeklik beberapa hipertaut yang melekat (tepatnya: dilekatkan) pada beberapa elemen naskah Malam Jahanam.
Naskah ini ditulis oleh Ibed Surgana Yuga dengan menerapkan metode hipertaut atau pranala, (hyperlink) sebagai pendekatan; yaitu sebuah hubungan beberapa elemen (kata, simbol, gambar, sumber, dan lainnya) dalam satu dokumen/narasi dengan dokumen/narasi yang menyerupai atau berbeda. Hal ini mempunyai kemungkinan dan resiko mendekatkan atau malah menjauhkan dari objek utama.
Dipertunjukan ini, kita akan bertemu dengan kenyataan-kenyataan bertumpuk dan berlapis sekaligus tercecer. Ini ada hubungannya (dihubung-hubungkan/spekulasi) dengan naskah Malam Jahaman, burung-burung, ubrug, hikayat pembunuhan, erotisme, nujum, jahanam dan mandul: To Be or Not to Be, Nujuman dari 1958 untuk 1965, Paijah dan beo pasca-Motinggo serta tragedi-tragedi komedi kiwari.
Beo Motinggo bercerita (atau mengurai) dan berspekulasi tentang hubungan sistemik antara pembunuhan para jenderal yang menyebabkan terbukanya “perselingkuhan antara elite PKI dengan perwira yang dibinanya” pada tragedi tahun 1965 dengan pembunuhan burung beo yang menyebabkan terbongkarnya kasus yang lebih hebat, yaitu perselingkuhan antara Paijah dan Soleman dalam naskah Malam Jahanam.
Secara tidak linear, naskah ini juga bercerita tentang burung-burung dan mendekonstruksi tokoh-tokoh dalam naskah Malam Jahanam secara kritis serta pembacaan yang juga kritis atas kenyataan pertunjukan-pertunjukan yang menggunakan penalaran tunggal melalui tokoh Lelaki Gondrong yang ternyata diketahui setelahnya adalah tokoh LELAKI YANG MENGAKU AFRIZAL MALNA.
Fiksi dan catatan sejarah, linearitas dan unlinearitas, presentasi dan representasi akan berkelindan sebagai tawaran estetika performatif. Pertunjukan ini membayangkan ruang ulang alik antara drama dan di luar drama, antara “naskah drama” dan teks pertunjukan.
Flaneur Kolektif, melalui pertunjukan Beo Motinggo menghadirkan teater yang tidak formal dan penuh permainan. Para aktor berganti peran, dialog saling tumpang tindih, sementara bunyi-bunyian, tawa, dan visual memancing penonton untuk ikut menelusuri jejak sejarah yang berserakan. Dalam ruang ini, tragedi dibawakan sebagai komedi satir—menawarkan cara baru untuk menatap trauma masa lalu tanpa kehilangan jarak kritis.
Dari fragmen ke fragmen pertunjukan Beo Motinggo menawarkan pengalaman yang seru dan “bermain-main”. Kita bisa bersenang-senang selama menonton sambil tetap memantik ingatan-ingatan kita tentang sejarah, luka dan bayang-bayang masa lalu yang tak selesai. Karena dipertunjukan ini, tragedi dibawakan dalam bentuk komedi satir dan dengan perspektif pengadeganan yang unik.
Prosesnya yang berlapis, improvisasional, dan terbuka menandai pergeseran dari teater yang merepresentasikan peristiwa menjadi teater yang memproduksi pengalaman. Penonton tidak lagi sekadar menyaksikan, tetapi turut mengklik, menafsir, dan tersesat dalam jaringan makna yang dibangun bersama. Sebagai pertunjukan, ia menghadirkan kemungkinan baru bagi penonton untuk menjadi bagian dari hiperteks itu sendiri—karena setiap tawa, bisik, atau kebingungan di ruang pertunjukan adalah klik baru yang membuka lapisan makna lain.
Akhirnya, Beo Motinggo bukan sekadar pentas. Ia adalah arsip hidup, tempat tawa dan luka bernegosiasi dalam satu ruang performatif. Ia mengingatkan bahwa sejarah tidak pernah selesai dibaca—karena selalu ada tautan yang belum kita klik.
Mari bertemu di tanggal 23 Oktober 2025 di Gedung Kesenian Jakarta jam 20.00 WIB.
RSVP https://bit.ly/BeoMotinggoFTJ2025. Narahubung +62 857-1958-6395 (Nova) dan +62 896-0331-5865 (Cika).