Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mendorong pelaku usaha kuliner di seluruh Jakarta untuk mengadopsi praktik ramah lingkungan guna menekan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan kota. Upaya tersebut dijalankan melalui program ECO ACT (Education, Collaboration, Action) yang berfokus pada peningkatan kapasitas teknis pelaku usaha, penguatan kolaborasi dengan akademisi, dunia usaha, mitra CSR, dan komunitas, serta pelaksanaan aksi nyata dan proyek percontohan yang dapat diterapkan kembali.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Dudi Gardesi Asikin, menjelaskan bahwa sektor kuliner yang jumlahnya masif merupakan salah satu kontributor terbesar dalam menghasilkan limbah di Jakarta. Karena itu, penerapan standar lingkungan tidak lagi bersifat opsional. Ia menegaskan, pengelolaan limbah cair, sampah makanan, dan emisi harus menjadi bagian integral dari operasional usaha.
“Melalui ECO ACT, kami memastikan pelaku usaha memahami dan menjalankan standar lingkungan agar operasionalnya tidak menambah beban pencemaran Jakarta,” ujarnya, Selasa (2/12).
Sementara itu, Kapokja Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, Ditjen Pengurangan Sampah dan Ekonomi Sirkular KLH, Wisti Noviani Adnin, mengungkapkan bahwa UMKM kuliner di Jakarta menghasilkan lebih dari 500 ton sampah per hari. Ia menekankan perlunya pemilahan dan pengolahan sampah langsung dari sumbernya. Ia mendorong kolaborasi dengan berbagai pihak seperti peternakan, asosiasi maggot, dan komposer agar sampah organik dapat dikelola dengan benar dan tidak berakhir di TPA.
Lebih lanjut, Dukungan juga datang dari Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Kapasitas Usaha Mikro Kementerian Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM), Riesta Karentina, yang menilai pelaku usaha perlu menguasai green skills untuk dapat beradaptasi dengan tuntutan usaha berkelanjutan. Ia menyampaikan, keterampilan tersebut meliputi manajemen limbah, desain produk berkelanjutan, hingga strategi pengurangan dan daur ulang sampah.
Riesta turut mendorong penguatan komunikasi digital melalui komunitas daring dan kerja sama dengan micro-influencer untuk menyebarkan pesan keberlanjutan, terutama kepada generasi muda.
Di sisi lain, Founder Bahasa Bisnis, Edhy Surbakty, menyoroti pentingnya pengurangan food wastesebagai kunci bisnis kuliner berkelanjutan. Ia menyarankan pelaku usaha melakukan pencatatan sisa makanan di tiga titik kritis yakni, persiapan dapur (prep), sisa makanan di piring (plate waste), dan bahan kedaluwarsa di penyimpanan (storage).
Edhy menambahkan, praktik keberlanjutan dapat sekaligus memperkuat citra usaha melalui brandstorytelling, misalnya menceritakan capaian pengurangan sampah dapur hingga 20 persen dalam tiga bulan. Ia menutup dengan menekankan bahwa keberlanjutan justru membuka peluang pasar.
Fito Wahyu Mahendra – Redaksi

