Industri tembakau sering kali menyebabkan polemik. Kali ini Dewan Periklanan Indonesia (DPI) bersama sejumlah asosiasi di industri periklanan dan media kreatif melaksanakan acara Diskusi Media “Dampak Berbagai Larangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau pada RPP Kesehatan Terhadap Industri Kreatif”.
Pembahasan utama dalam diskusi ini adalah mengenai penolakan terhadap pasal-pasal yang melarang iklan, promosi, hingga sponsorship terhadap produk tembakau pada bagian pengaturan zat adiktif dalam RPP sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) No.17 Tahun 2003 tentang kesehatan.
Dalam aturan terdahulu, pembatasan waktu siaran iklan produk tembakau di televisi semula dari jam 21:30 sampai 05:00 menjadi jam 23:00 sampai 03:00 dan melarang total semua aktivitas di media elektronik dan luar ruang, larangan total kegiatan kreatif, serta larangan peliputan dan publikasi tanggung jawab sosial (CSR) dari perusahaan produk tembakau.
BACA JUGA: Jokowi Akan Larang Penjualan Rokok Batangan
Dari adanya aturan tersebut, Wakil Ketua DPI Janoe Arianto merasa aturan ini dapat merugikan 4 sektor, yaitu industri kreatif termasuk periklanan, sektor ritel, petani tembakau, dan industri tembakau.
Janoe beranggapan, aturan ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Dengan demikian, melalui surat dari Sekretariat Bersama Asosiasi Bidang Jasa Periklanan, Media Penerbitan, dan Penyiaran, berbagai pihak dari industri periklanan dan media kreatif secara tegas menolak poin-poin larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dengan berbagai pertimbangan:
Pertama, industri kreatif dan penyiaran serta para tenaga kerjanya tentunya akan terancam apabila pelarangan total iklan produk tembakau diberlakukan. Karena, berdasarkan Data TV Audience Measurement Nielsen, iklan produk tembakau bernilai Rp9 triliun sementara kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai 20% dari penghasilan pendapatan media digital di Indonesia.
“Rencana pelarangan total iklan pada pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan akan secara langsung mengurangi pendapatan industri kreatif, hiburan, dan periklanan. Hal ini juga akan berdampak terhadap keberlangsungan usahanya dan nasib tenaga kerja yang menggantungkan pekerjaannya kepada mata sektor tersebut,” jelas Janoe
Kedua, Industri kreatif nasional patuh pada aturan iklan produk tembakau yang telah ditetapkan dan turut mendukung upaya pemerintah untuk melakukan prevalensi perokok anak. Sebagaimana, yang telah dilakukan oleh industri kreatif nasional yang selalu mematuhi peraturan tersebut, yang diantaranya PP 109/2012 dan juga yang telah diatur oleh Etika Pariwara Indonesia (EPI). Dalam hal ini terkait jam tayang iklan rokok di TV.
Ketiga industri kreatif nasional tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dan partisipasi publik RPP Kesehatan. Sehingga, penyusunan kebijakan ini tidak pernah diinformasikan terhadap pihak periklanan di Indonesia. Padahal, kebijakan ini memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan usaha.
“Hal ini sangat kami sayangkan karena pemahaman industri kreatif menjadi sangat terbatas terkait rencana penerapan peraturan tersebut. Kebijakan ini seharusnya didiskusikan bersama pihak yang akan bersinggungan dengan regulasi, mengingat RPP Kesehatan mencakup banyak bidang usaha yang banyak dan beririsan dengan produk tembakau,” jelas Janoe.
Dengan demikian, dengan tegas para pemangku kepentingan industri kreatif nasional Indonesia menolak poin larangan total iklan produk tembakau dengan berbagai pertimbangan untuk bisa ditinjau ulang dan berharap dilibatkan dalam penyusunan RPP Kesehatan.
Hadir juga dalam diskusi ini Direktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Syaifullah Agam, perwakilan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Indonesia Digital Association (IDA), dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). (*/)
(RRY)