Wacana pengembalian sistem penjurusan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) kembali menjadi perbincangan, setelah sebelumnya sempat dihapus. Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, mengatakan bahwa perubahan kurikulum yang terlalu sering justru menyulitkan guru-guru di lapangan. Menurut Iman, setiap pergantian membutuhkan proses adaptasi yang panjang dan tidak bisa selesai hanya dalam waktu satu tahun. Iman mencontohkan Kurikulum Merdeka yang mulai dirancang sejak tahun 2021 lewat program Sekolah Penggerak. Pada tahun 2022 Kurikulum Merdeka baru menjangkau setengah wilayah Indonesia, kemudian mencapai 95% di tahun 2024, dan kini saat mendekati implementasi penuh justru muncul wacana perubahan lagi.
Iman menyampaikan bahwa ada dua pandangan soal kurikulum. Pertama, yang menganggap kurikulum seharusnya tidak perlu berubah secara signifikan, dan kedua, yang meyakini kurikulum memang perlu berubah untuk menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk dunia kerja dan teknologi digital. Namun, Iman mengingatkan bahwa arah perubahan seharusnya jelas. Iman menyoroti bahwa penjurusan tidak masuk dalam konsentrasi peta jalan pendidikan saat ini, sehingga ketika isu ini muncul kembali, banyak pihak mempertanyakan dasar dan arahnya.
Selain itu, Iman juga menyoroti tantangan implementasi kurikulum di Indonesia yang memiliki 50 juta siswa dan 3,3 juta guru. Rasio tersebut memang tampak ideal, 1:15, namun tidak mencerminkan kenyataan karena penyebaran guru yang tidak merata. Ada daerah yang kekurangan guru, dan ada pula yang kelebihan. Melihat di era sekarang ilmu pengetahuan tidak bisa lagi dikotakkan, kolaborasi antar ilmu menjadi semakin penting. Hal ini menjadi dasar penyusunan Kurikulum Merdeka, salah satunya dengan menggabungkan rumpun ilmu IPA dan IPS menjadi IPAS. Iman mengusulkan agar pemerintah melakukan riset dan kajian mendalam terlebih dahulu sebelum mengembalikan sistem penjurusan. Menurutnya, lebih baik dipertimbangkan mana yang lebih bermanfaat secara nyata bagi peserta didik dan masa depan mereka.
Di sisi lain, rencana pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadirkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN), Iman menyarankan agar tes tersebut disesuaikan dengan jurusan yang diambil siswa. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi tes lintas jurusan, misalnya siswa IPS atau IPA harus mengikuti soal campuran seperti IPAS yang bukan fokus pembelajaran mereka selama ini. Iman berharap agar setiap perubahan kurikulum dilakukan secara bertahap dan terencana, seperti kurikulum 1994 yang hanya mengalami revisi ringan di tahun 1999 dan tetap digunakan dalam jangka panjang. Iman juga melihat bahwa kurikulum internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) memiliki siklus yang lebih stabil, yakni bertahan hingga 13 tahun sebelum diperbarui. Hal ini menurutnya layak dijadikan contoh untuk menciptakan pendidikan nasional yang lebih matang dan berkelanjutan.
Andhika Rakatama – Redaksi