National

Data di BPS dan Bank Dunia Berbeda, Rakyat Rentan Bisa Tak Terdata

Perbedaan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia menjadi perbincangan karena terdapat perbedaan angka kemiskinan di Indonesia. Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia berada di angka 8,57%. Namun, angka yang dirilis oleh Bank Dunia justru menunjukkan data yang lebih tinggi dan mencengangkan. Direktur Ekonomi Digital Center and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menjelaskan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena masing-masing lembaga menggunakan metode dan ukuran yang berbeda. Tidak bisa dikatakan bahwa satu metode lebih benar dari yang lain karena keduanya memiliki alasan dan dasar masing-masing.

Salah satu faktor utama penyebab perbedaan tersebut terletak pada Garis Kemiskinan (GK) yang digunakan. BPS menetapkan GK (Garis Kemiskinan) sebesar Rp595 ribu per bulan, atau sekitar Rp20 ribu per hari. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan acuan sebesar 6,85 dolar AS per hari, yang berlaku untuk negara dengan status pendapatan menengah atas. Bila dikonversikan, angka tersebut setara dengan sekitar Rp115 ribu per hari, jauh di atas standar BPS. Menurut Huda, jika kedua lembaga menggunakan GK yang berbeda, maka hasil yang diperoleh juga tentu berbeda. Huda mencontohkan, jika seseorang mengonsumsi Rp21 ribu per hari, menurut BPS ia tidak tergolong miskin, namun menurut standar Bank Dunia, konsumsi sebesar itu masih jauh di bawah garis kemiskinan.

Huda juga menilai bahwa acuan BPS sebesar Rp20 ribu per hari sudah tidak realistis dan tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Huda mengusulkan agar Indonesia mulai mempertimbangkan untuk menggunakan acuan garis kemiskinan dari kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah, yaitu sekitar Rp61 ribu per hari. Angka tersebut dinilai lebih relevan, mengingat rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia berada di kisaran tiga juta rupiah per bulan.

Huda menekankan bahwa perbedaan data tersebut memiliki dampak besar terhadap kebijakan publik. Jika data yang digunakan tidak mencerminkan kondisi di lapangan, maka program seperti bantuan sosial bisa salah sasaran. Orang-orang yang seharusnya mendapatkan bantuan bisa saja terlewat karena dianggap tidak miskin berdasarkan tolok ukur yang kurang sesuai. Huda beranggapan, penting bagi pemerintah dan pemangku kebijakan untuk meninjau ulang standar yang digunakan dalam mengukur kemiskinan agar lebih mencerminkan realitas yang ada di masyarakat.

Andhika Rakatama – Redaksi

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× hey MOST...