Gelombang pengakuan internasional terhadap kenegaraan Palestina mencapai puncak baru ketika Inggris, Kanada, dan Australia secara serentak mengumumkan dukungan resmi mereka. Langkah bersejarah ini langsung memicu amarah membara dari kalangan menteri sayap kanan Israel, yang menuntut aneksasi wilayah Tepi Barat dan pembubaran Otoritas Palestina sebagai balasan tegas.
Pengakuan ini bukan hanya simbolis, melainkan bagian dari upaya terkoordinasi untuk menghidupkan kembali solusi dua negara di Timur Tengah.
Diumumkan menjelang Sidang Majelis Umum PBB pekan ini, keputusan ketiga negara tersebut datang di tengah eskalasi konflik, Israel berencana memperluas permukiman di Tepi Barat yang diduduki serta menggelar operasi militer intensif di Gaza. Dengan demikian, pengakuan ini berpotensi mengubah dinamika diplomatik global terkait konflik Israel-Palestina.
Respon Tegas dari Israel
Tanggapan paling keras datang dari dua figur utama dalam pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, menilai sikap negara-negara Barat tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ia mendesak perlunya “langkah balasan segera” sebagai bentuk respons. Dalam keterangannya, Ben Gvir menyebut kebijakan tersebut berisiko merugikan kepentingan Israel dan mengurangi pengaruhnya di panggung internasional.
“Pengakuan oleh Inggris, Kanada, dan Australia atas negara Palestina… membutuhkan tindakan balasan segera: penerapan kedaulatan yang cepat di Yudea dan Samaria dan pembubaran penuh Otoritas Palestina.” ujar Ben Gvir.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich ikut angkat bicara dengan nada serupa. Ia menegaskan bahwa Israel harus menunjukkan ketegasan dan tidak tunduk pada tekanan pihak luar. Smotrich bahkan mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan strategis yang mampu memperkuat posisi Israel, baik secara politik maupun ekonomi, agar tidak bergantung pada dukungan negara lain.
Ben Gvir berencana akan mengajukan proposal aneksasi Tepi Barat—wilayah yang disebut Yudea dan Samaria oleh para nasionalis Israel pada sidang kabinet mendatang. Tuntutan ini mencerminkan polarisasi dalam politik Israel, di mana koalisi sayap kanan Netanyahu semakin bergantung pada dukungan kelompok ekstrem untuk bertahan.
Alasan Pengakuan : Dorongan untuk Perdamaian
Di sisi lain, para pemimpin dari tiga negara yang memberikan pengakuan menegaskan bahwa langkah ini bertujuan mempromosikan perdamaian jangka panjang. Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, menjelaskan bahwa pengakuan ini justru melemahkan kelompok militan seperti Hamas. Menurutnya, “Mengakui Negara Palestina, yang dipimpin oleh Otoritas Palestina, memberdayakan mereka yang mencari hidup berdampingan secara damai dan mengakhiri Hamas. Ini sama sekali tidak melegitimasi terorisme, atau menjadi hadiah untuk itu.”
Carney juga mengkritik kebijakan Israel yang dinilai kontraproduktif. Ia menuduh pemerintah Israel sengaja menghalangi terciptanya negara Palestina agar hal tersebut tidak pernah terwujud. Sebagai menutup Carney menyampaikan komitmen kerja sama dengan Palestina dan Israel. Ia menawarkan kemitraan internasional guna membangun masa depan yang damai dan saling menguntungkan bagi kedua bangsa tersebut.
Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyebut pengakuan ini sebagai sebuah “langkah bersejarah” yang akan menghidupkan kembali harapan untuk perdamaian bagi Palestina dan Israel, dan solusi dua negara. Sementara Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, melalui pernyataan resminya, menekankan komitmen serupa untuk mendukung solusi dua negara, meski tanpa kutipan langsung yang spesifik.
Hingga kini, lebih dari 140 negara telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, termasuk mayoritas anggota Uni Eropa. Namun, pengakuan dari sekutu dekat Israel seperti Inggris, Kanada, dan Australia dianggap sebagai titik balik yang berpotensi memengaruhi kebijakan AS di bawah pemerintahan yang akan datang.
Fito Wahyu Mahendra – Redaksi

