National

Rehabilitasi dari Prabowo untuk Eks Direksi ASDP: Jawaban atas Suara Publik

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, mengungkapkan bahwa rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry yang sempat menjadi perkara hukum itu merupakan jawaban atas suara publik.

Kebijakan ini bukan hasil keputusan sepihak, melainkan respons atas aspirasi publik yang disampaikan melalui jalur konstitusional oleh DPR RI, serta kajian hukum menyeluruh dari pemerintah. Iwan mengatakan, Kita menyaksikan bahwa proses ini lahir bukan dari tekanan politik, tetapi dari konsensus antara aspirasi rakyat dan pertimbangan hukum yang matang.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam keterangannya menegaskan bahwa sejak Juli 2024, berbagai aduan masyarakat mengenai kasus ASDP diterima DPR. Aspirasi tersebut kemudian tidak berhenti pada ruang keluhan, tetapi diolah melalui mekanisme konstitusional: pengkajian oleh Komisi Hukum DPR yang melibatkan pakar serta analisis mendalam terhadap proses penyelidikan. Hasilnya disampaikan kepada pemerintah agar negara meninjau kembali putusan yang dinilai mengandung persoalan substansial keadilan.

Dalam waktu yang sama, pemerintah melalui Kementerian Hukum juga menerima berbagai masukan masyarakat. Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa pemerintah melakukan telaah internal dan mendapat rekomendasi resmi dari Menteri Hukum agar Presiden mempertimbangkan penggunaan hak rehabilitasi.

Proses ini dibahas dalam rapat terbatas sebelum akhirnya Presiden Prabowo memutuskan untuk menandatangani pemulihan nama baik tiga mantan direksi ASDP: Ira Puspa Dewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Hari Muhammad Adhi Caksono. Langkah ini menunjukkan sebuah pesan penting: negara tidak membiarkan pelayan publik dibiarkan sendirian ketika menghadapi proses hukum yang berpotensi keliru.

Rehabilitasi dari Presiden bukanlah “kebaikan hati personal”, namun sebuah koreksi negara terhadap potensi ketidakadilan. Keputusan ini membuktikan bahwa mekanisme demokrasi bekerja sesuai ruhnya: aspirasi rakyat diterima di DPR, dianalisis dengan dasar hukum, lalu pemerintah bertindak melalui kajian institusional. Ini adalah praktik tata kelola hukum yang sehat.

Lebih lanjut, keputusan rehabilitasi ini memberi dampak psikologis yang sangat signifikan bagi lingkup BUMN dan penyelenggara pelayanan publik. Dalam ekosistem layanan publik yang padat regulasi, ketakutan untuk mengambil keputusan sering kali lebih besar daripada keberanian untuk berinovasi. Ketika risiko kriminalisasi muncul meski seseorang bekerja sesuai prosedur, inovasi mandek dan pelayanan publik terhambat. Pada titik ini, rehabilitasi bukan hanya soal tiga nama, melainkan sinyal bahwa negara hadir untuk memberi keberanian kepada profesional yang bekerja jujur.

Keputusan ini sama sekali tidak menghapus kewajiban penegakan hukum. Justru sebaliknya, langkah tersebut menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil, transparan, dan proporsional. Negara tidak boleh hadir hanya sebagai alat pemberi hukuman; negara juga harus menjadi penjaga kehormatan warganya. Ketika prosedur hukum berpotensi mencederai pihak yang telah bekerja sesuai aturan, negara berkewajiban untuk memperbaikinya.

Dalam kerangka itulah rehabilitasi terhadap ASDP perlu dipahami. Pemerintah tengah membangun standar baru dalam tata kelola penanganan hukum bagi pejabat publik. Negara ingin menunjukkan bahwa profesionalisme dalam pelayanan publik patut dilindungi, bukan dikorbankan. Bahwa penegakan hukum tidak semata-mata soal pemberian sanksi, melainkan juga pemulihan ketika keadilan substantif harus ditegakkan.

Langkah Presiden Prabowo ini merupakan respons terhadap aspirasi publik, namun bukan keputusan yang bersifat populis. Kebijakan tersebut lahir melalui pertimbangan matang, rapat terbatas, serta mekanisme konstitusional yang dijalankan oleh pemerintah dan DPR. Inilah praktik demokrasi yang dewasa: berangkat dari suara rakyat, diproses lembaga negara, lalu diputuskan oleh kepala negara.

Saat kebijakan rehabilitasi diumumkan secara terbuka oleh Wakil Ketua DPR, Mensesneg, dan Seskab, publik melihat bahwa negara tidak hanya bicara soal penghukuman, tetapi juga soal pemulihan. Dan di titik itulah kualitas pemerintahan diuji: bukan pada seberapa keras ia menjatuhkan hukuman, melainkan seberapa tegas ia mengoreksi ketika keadilan menuntut perbaikan.

Untuk ke depannya, diharapkan keputusan ini menjadi pijakan bagi lahirnya kepastian hukum yang lebih sehat bagi para pelayan negara. Sebab negara yang kuat bukanlah negara yang paling sering menghukum, melainkan negara yang berani memulihkan ketika diperlukan.

Fito Wahyu Mahendra – Redaksi

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× hey MOST...