Regional

Pejabat Perfilman Korea Nilai Film Horor Indonesia Berpeluang Tembus Pasar Korsel

Program Director for International Film di Busan Cinema Center, Chun Hye-Jin, memprediksi film horor Indonesia berpeluang menembus pasar perfilman Korea Selatan. Pandangan tersebut disampaikan dalam diskusi Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bertajuk Frame of Influence: Understanding the Korean Wave in Indonesia’s Film Landscape yang digelar pada Selasa (2/12).

Dalam diskusi yang merupakan bagian dari program Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea hasil kolaborasi FPCI dan Korea Foundation itu, Chun menilai genre horor Indonesia memiliki potensi untuk diterima oleh industri film Korea. Menurutnya, setiap negara perlu memiliki ciri khas yang kuat agar dapat bersaing di pasar internasional.

Chun mencontohkan Thailand yang dikenal dengan film dan drama bergenre boys love atau bromance sebagai identitas industri perfilman mereka. Ia berpendapat Indonesia juga perlu memperkuat satu genre tertentu sebagai trademark.

“Seperti Thailand yang memiliki banyak film dengan genre boys love sebagai ciri khas, mungkin Indonesia bisa menjadikan genre horor sebagai identitasnya,” ujar Chun.

Pandangan tersebut turut diperkuat oleh Chief Marketing Officer CGV Indonesia, Ssun Kim. Ia mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang aktif memproduksi film horor dan memiliki basis penonton yang besar untuk genre tersebut.

Menurut Ssun Kim, minat masyarakat Indonesia terhadap film horor memiliki kesamaan dengan penonton Korea Selatan. Ia mencontohkan keberhasilan film Korea Exhuma (2024) yang mampu menarik sekitar 2,6 juta penonton di Indonesia. Film Exhuma mengisahkan sekelompok ahli spiritual yang berupaya memindahkan makam leluhur sebuah keluarga kaya. Ssun Kim menilai salah satu faktor keberhasilan film tersebut di Indonesia adalah kedekatan unsur budaya yang ditampilkan dengan budaya lokal.

Ia menjelaskan, Exhuma memuat elemen budaya dan cerita legenda yang juga akrab dengan masyarakat Indonesia, termasuk praktik penguburan jasad ke dalam tanah, yang membuat penonton merasa dekat dengan narasi film tersebut. Meski demikian, Ssun Kim memberikan sejumlah catatan agar film Indonesia dapat semakin kompetitif di pasar global. Ia menekankan pentingnya peningkatan kualitas computer graphics (CG) dalam produksi film.

Selain itu, ia menyoroti strategi pemasaran industri film Korea yang banyak menerapkan pendekatan business to consumer (B2C) sebagai pembelajaran bagi industri film Indonesia. Tantangan lain yang turut disinggung adalah keterbatasan bahasa Indonesia dalam menjangkau penonton internasional.

“Penggunaan subtitle yang tepat menjadi poin kunci dalam strategi pemasaran agar film Indonesia bisa diterima lebih luas di pasar global,” ujar Ssun Kim.

Akbari Danico – Redaksi

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× hey MOST...