National

Kasus Pembakaran Sekolah Oleh Korban Bullying, Stop Normalisasi Bullying sebagai Kenakalan Anak-Anak/Remaja

Selasa (27/6/2023) terjadi kasus pembakaran sekolah oleh seorang murid berinisial R. Pembakaran sekolah oleh murid SMPN 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menjadi bahan pembicaraan masyarakat Indonesia, karena motif dari pembakaran tersebut adalah pelaku merasa lelah dengan tindakan bully yang dilakukan oleh teman dan gurunya di sekolah.

Pelaku mengaku bahwa dirinya seringkali menjadi korban bullying dari teman-teman sekolahnya. Berbagai tindakan bullying harus dialami oleh pelaku mulai dari ejekan nama orang tua, sampai ke pengeroyokan. Ditambah, sosok guru yang seharusnya menjadi penengah dan membela korban bullying, justru malah menjadi pelaku bullying itu sendiri. 

Selain dibully oleh teman-temannya, pelaku pembakaran pun nyatanya dibully oleh gurunya sendiri. Pelaku berkata bentuk bullying yang diterimanya dari gurunya adalah karya seninya yang dirobek-robek oleh guru tersebut.

Berangkat dari rasa sakit hati karena pembullyan yang dialaminya, pelaku pun nekat membakar ruang kelasnya sebagai bentuk luapan dari rasa sakit hatinya.

Dari adanya kasus ini, banyak masyarakat Indonesia yang justru membela tindakan pelaku pembakaran sekolah. Menurut masyarakat Indonesia, meskipun tidak dapat membenarkan tindakan pembakaran sekolah, namun alasan mengapa pelaku melakukan pembakaran harusnya lebih dapat diperhatikan dan seharusnya diusut tuntas.

Kasus bullying di ranah pendidikan sendiri rasanya sudah beberapa kali terjadi di Indonesia dan bahkan dunia. Banyak pelajar yang nyatanya mendapatkan perundungan dari teman-teman di sekolahnya. 

Dan seringkali, kasus perundungan atau bully ini dimaklumi oleh pihak sekolah sebagai bentuk dari kenakalan anak-anak atau remaja. Sehingga, seringkali beberapa kasus bullying di lingkungan pendidikan hanya berujung dengan damai dan tidak pernah naik ke ranah hukum.

Lebih lanjut, jika bullying merupakan bentuk kenakalan anak-anak, tapi mengapa perilaku bullying masih sering dijumpai pada orang dewasa seperti kasus kekerasan pada ospek misalnya? Nyatanya perilaku bullying bukanlah bentuk dari kenakalan anak-anak.

Gracia Ivonika, M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa baik bullying dan kenakalan anak-anak/remaja adalah dua hal yang berbeda. 

“Selain karena maknanya yang juga beda, ciri-ciri bullying itu dilakukan secara sengaja dan sadar dengan tujuan menyakiti atau merugikan orang lain. Ini biasanya terjadi karena ketidakseimbangan power antara pelaku dan korban,” jelasnya.

Gracia pun menambahkan, setidaknya terdapat 3 elemen yang dapat berujung pada bullying yaitu:

  1. Ketidakseimbangan kekuatan
  2. Pengulangan perilaku yang menyakitkan
  3. Adanya niat untuk melukai

Anak-anak yang melakukan bullying biasanya merupakan sosok yang lebih dewasa, memiliki fisik yang lebih besar, dan memiliki kekuatan sosial yang lebih besar dari targetnya. 

Dan dalam kasus pembakaran sekolah yang dilakukan oleh siswa di SMPN 2 Pringsurat, rasanya apa yang dialaminya sudah masuk dalam kategori bullying. Dirinya seringkali mendapatkan ejekan dari temannya secara berulang, mendapatkan perlakuan semena-mena dari gurunya yang berusia lebih dewasa dan juga memiliki kekuatan sosial yang jauh lebih besar.

Sehingga, 3 elemen terjadinya bullying pun telah terjadi. Sehingga, mengatakan apa yang dialami pelaku sebagai suatu bentuk kenakalan anak-anak/remaja adalah hal yang tidak valid. 

Kasus bullying di Indonesia sudah seharusnya mendapat perhatian khusus.Terlebih, seringkali kasus bullying justru terjadi di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman seperti lembaga pendidikan. 

Menormalisasi bullying sebagai tindakan kenakalan anak-anak/remaja yang berujung damai merupakan hal yang salah. Tindakan bully tidak seharusnya dinormalisasi dimanapun dan dalam kondisi apapun.  

(RRY)

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× hey MOST...