Keputusan Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, untuk membatalkan penerimaan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) secara sepihak telah menimbulkan gelombang polemik dan kekhawatiran di kalangan warga Jakarta. KJMU, sebuah bentuk beasiswa dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ditujukan untuk siswa SMA/MA/SMK kelas 12 yang berprestasi dan berasal dari keluarga tidak mampu, memberikan bantuan bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan tinggi di jenjang D3, D4, dan S1.
Data Pemprov DKI Jakarta mencatat bahwa pada Tahap II Tahun 2022, sebanyak 16.708 mahasiswa menerima KJMU, tersebar di 110 perguruan tinggi negeri (PTN) di seluruh Indonesia. PTN yang berpartisipasi dalam program ini melibatkan beberapa institusi ternama, seperti Universitas Indonesia, Politeknik Negeri Malang, dan UIN Syarif Hidayatullah.
Keputusan yang diambil oleh Heru Budi Hartono memicu kekhawatiran warga Jakarta terkait kelangsungan pendidikan tinggi para penerima KJMU. Heru menyebut adanya proses sinkronisasi data penerima KJMU dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Menurutnya, data yang digunakan merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Heru menegaskan bahwa data tersebut telah disinkronkan dengan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) Kemensos, sehingga terdapat penyesuaian. Ia juga menekankan bahwa pemberian bantuan disesuaikan dengan kemampuan anggaran Pemprov DKI Jakarta.
Meskipun Heru memberikan penjelasan terkait proses sinkronisasi data, keputusan ini tetap menimbulkan keprihatinan di kalangan warga Jakarta. Banyak yang khawatir bahwa pembatalan KJMU dapat menghambat akses pendidikan tinggi bagi siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu.
Purwosusilo, Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, menjelaskan bahwa pemberian KJMU dan KJP sudah sesuai dengan DTKS dan Regsosek. Proses pemilihan penerima KJP Plus dan KJMU Tahap I Tahun 2024 menggunakan sumber DTKS yang telah disahkan oleh Kemensos.
Purwosusilo menekankan bahwa pemberian bantuan sosial biaya pendidikan bersifat selektif, dengan mengacu pada pemeringkatan kesejahteraan (Desil). Peserta didik atau mahasiswa dari keluarga mampu yang terdata pada Desil 5 hingga 10 tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan tersebut.
Sementara kebijakan ini mungkin diambil untuk mengoptimalkan alokasi anggaran dan menyederhanakan penerima manfaat, tetap ada tuntutan agar kebijakan ini lebih mempertimbangkan dampak sosialnya terhadap para penerima manfaat yang berjuang untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Seiring berjalannya waktu, mungkin akan diperlukan evaluasi lebih lanjut dan dialog terbuka untuk mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan. (*/)
(RRY)