Beberapa waktu belakangan ini, “penemuan” Niku Banyu (Nikuba) ciptaan Aryanto Misel menjadi bahan pembicaraan publik. Pasalnya, banyak masyarakat Indonesia yang menilai tindakan pemerintah Indonesia dalam hal ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang “menolak” Nikuba ini sebagai tindakan yang tidak mengapresiasi temuan anak bangsa.
Terlebih, Aryanto Misel mengklaim temuannya mendapatkan sorotan dari berbagai perusahaan otomotif internasional seperti Ferrari dan Lamborghini. Adanya klaim “pengakuan internasional” inilah yang akhirnya membuat masyarakat Indonesia merasa geram dengan pemerintah Indonesia yang dianggap tidak dapat mengapresiasi “inovasi” anak bangsa.
Namun, dibandingkan menggunakan kata “menolak” rasanya kata tersebut kurang sesuai dengan konteks yang terjadi pada Nikuba. Pasalnya, BRIN disini bukan menolak secara mentah-mentah “inovasi” Nikuba ini, melainkan meminta data penelitian yang akhirnya berujung pada terciptanya Nikuba ini.
Karena pada dasarnya Nikuba sendiri adalah sebuah penelitian yang memungkinkan mengubah air menjadi bahan bakar. Yang mana, penelitian terkait mengubah air menjadi bahan bakar sudah ada sejak dahulu bahkan sebelum Nikuba. Nikuba dikatakan memiliki konsep HHO (Hidrogen Hidrogen Oksigen) atau yang disebut gas Brown. HHO dijelaskan untuk penghemat bukan pengganti bahan bakar. Namun, karena dianggap tidak seefisien bahan bakar konvensional, akhirnya prinsip bahan bakar ini tidak pernah digunakan,
Dan alasan tersebutlah akhirnya BRIN “menolak” inovasi Nikuba milik Arianto. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko pun sebenarnya sangat terbuka dengan adanya Nikuba ini. Namun, pihaknya ingin Arianto dapat menjelaskan secara lebih jelas. Mulai dari data, bagaimana hasil hitung-hitungan yang digunakan, hasil riset yang dipublikasi, dan lain sebagainya.
Karena, pada dasarnya segala sesuatu hal yang berkaitan dengan sains, harus memiliki data yang dapat dipertanggung jawabkan dan dibuktikan.
“Itu salah satu yang sedang kami ajak supaya bisa dibuktikan secara saintis. Itu dulu yang nomor satu, sehingga Kalau ada penyempurnaan ya sempurnakan bersama-sama. Karena Nikuba itu kan basiknya hidrogen, bahan bakar berbasis hidrogen,” katanya.
“Kalau di science kita harus berhati-hati, kita lihat bersama-sama, lakukan pengembangan sampai terbukti secara saintifik di komunitas ilmiah. Tapi kami dukung,” ujar dia lagi.
Arianto alih-alih membuka hitung-hitungan, atau menunjukan publikasi penelitian, justru asyik mencari “kawan” melalui pemberitaan di media sosial. Sehingga, pada akhirnya banyak masyarakat Indonesia yang percaya akan hal tersebut.
Kasus “Inovasi” Anak Bangsa yang Tertolak
Bukannya bersikap skeptis dengan hal-hal berbau “inovasi” anak bangsa terlebih inovasi tersebut tidak dibarengi dengan data, masyarakat Indonesia justru mudah percaya akan “inovasi” tersebut.
Padahal, kasus seperti Nikuba ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Salah satu kasusnya adalah lengan “robot” karya I Wayan Sutawan dari Bali yang mengklaim dapat menggantikan fungsi lengan dan konon dapat digerakan melalui sinyal dari otak.
Fakta dari “inovasi” tersebut nyatanya adalah sebuah alat bantu saja. Karena, Lengan ”robot” ciptaan Tawan dinilai tidak memenuhi definisi robot sesuai dengan perkembangan keilmuan.
Narasi Media dan Tanggung Jawab Pemerintah
Salah satu kunci yang akhirnya membuat “inovasi” ini termakan oleh masyarakat Indonesia adalah narasi media. Nyatanya masyarakat Indonesia sangat mudah percaya dengan narasi dari media tanpa melakukan verifikasi ulang atau sekadar membaca berita secara keseluruhan.
Dengan menggunakan narasi “anak bangsa” yang disakiti oleh bangsanya sendiri, tentunya akan memancing respon masyarakat Indonesia yang menghakimi pemerintah. Namun, hal ini bukan tanpa sebab. Nyatanya, partisipasi pemerintah dalam memberikan dukungan terhadap peneliti-peneliti asli Indonesia atau partisipasi aktif pemerintah dalam membantu riset keilmuan sangatlah minim.
Didasari oleh adanya minimnya apresiasi pemerintah terhadap para ilmuwan “daerah” pada akhirnya melanggengkan narasi-narasi bombastis media dalam membentuk kepercayaan terhadap masyarakat Indonesia.
Terlebih, pemberitaan mengenai Nikuba di media nasional bisa dikatakan seragam. Semuanya membuat narasi seolah-olah pemerintah menolak mentah-mentah Nikuba ini.
Dengan narasi media yang mayoritas memberitakan Nikuba dengan highlight penolakan oleh pemerintah dibanding sejumlah ahli, pada akhirnya secara langsung mematikan pemikiran kritis masyarakat Indonesia.
Padahal, kritis terhadap suatu inovasi belum tentu merupakan suatu penolakan, dan justru dapat dikatakan sebagai sebuah penerimaan. Dengan memberikan respon kritis, secara langsung kita menunjukan keinginan untuk Nikuba ini dapat disempurnakan melalui data-data penelitian yang dapat dipublikasikan.
Nikuba Tetap Layak Diapresiasi
Meskipun pada akhirnya Arianto belum membuka data atau hasil hitung-hitungannya. Nikuba tetap layak diapresiasi, meskipun belum dapat dikatakan sebagai inovasi.
Setidaknya melalui Nikuba, masyarakat Indonesia menjadi tahu bahwa air dapat dijadikan bahan bakar lain selain bahan bakar konvensional yang mereka kenal.
Arianto harus dapat membuktikan klaimnya apabila ingin mengatakan Nikuba sebagai inovasi yang layak dijual dengan harga milyaran rupiah. Dibandingkan dengan mencari atensi di media nasional ada baiknya Arianto mencari atensi dari komunitas keilmuan. Sesederhana dengan merilis hasil penelitiannya di publikasi internasional tentunya akan memudahkan Arianto untuk membuktikan bahwa Nikuba adalah sebuah penemuan bukan penipuan.
(RRY)