Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) rasanya selalu memberikan hal-hal baru di tiap periode pemilihannya. Meskipun selalu dihiasi oleh wajah-wajah familiar, rasanya selalu ada ‘bumbu-bumbu’ baru dalam kontestasi politik 5 tahunan ini.
Namun, sejak kontestasi Pilpres 2019, selalu terdapat narasi-narasi sama yang akhirnya selalu menjadi narasi di setiap level kontestasi politik di Indonesia. Yaitu, narasi ‘Cebong vs Kampret’.
Asal-Usul ‘Cebong vs Kampret’
Nasi ‘Cebong vs Kampret’ nyatanya telah menemani perpolitikan Indonesia sejak diberlangsungkannya Pilpres 2019. Istilah ‘cebong’ sendiri awalnya terlahir sejak tahun 2015 oleh para penggemar Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut riset yang dilakukan Drone Emprit yaitu sebuah sistem analisis data, istilah ‘cebong’ mulai sering digunakan sejak Agustus tahun 2015.
Yang mana saat itu panggilan ‘cebong’ terlahir dari aktivitas Presiden Jokowi ketika melepaskan anak-anak kodok atau ‘kecebong’ di Istana Bogor, yang kemudian makin naik karena anak bungsu Presiden Jokowi yaitu Kaesang membuat candaan di media sosial mengenai kata ‘cebong’ itu sendiri.
Di sisi lain, kata ‘kampret’ sendiri sebenarnya sudah seringkali digunakan oleh para pengguna media sosial. Namun, sejak tahun 2015, kata ‘kampret’ sering digunakan oleh oleh para K-Popers.
Lantas, mengapa kata ‘cebong’ dan ‘kampret’ kini memiliki makna politik?
Nyatanya, kata ‘cebong’ pada akhirnya memiliki makna politik yang kuat sejak diberlangsungkannya Pilpres 2019. Dimana, orang-orang yang kontra dengan Jokowi akan memanggil orang-orang yang pro dengan Jokowi dengan sebutan ‘cebong’.
Dan dari situlah, pada akhirnya kata ‘cebong’ memiliki makna baru di Indonesia. Cebong yang secara harfiah merupakan sebutan untuk anak-anak kodok, kini memiliki makna baru di Indonesia. Kata ‘cebong’ di Indonesia kini berubah menjadi makna politik yang diperuntukan untuk pendukung sosok tertentu.
Pun demikian dengan kata ‘kampret’. Dahulu, kata ‘kampret’ justru digunakan oleh fans K-Pop/K-Popers. Namun, lagi-lagi karena adanya kontestasi politik, kata ‘kampret’ digunakan sebagai istilah yang merujuk kepada orang-orang yang kontra dengan Jokowi.
Bahkan, kini istilah yang merujuk kepada orang yang kontra dengan pemerintah sudah memiliki istilah baru yaitu ‘Kadrun’ yang pada dasarnya memiliki makna yang sama dengan ‘kampret’ namun kini lebih sering digunakan.
Tanggung Jawab Jokowi dan Prabowo
Secara tidak langsung, nyatanya baik Jokowi dan Prabowo punya andil besar atas perang ‘cebong vs kampret’ yang tidak kunjung usai.
Mengapa?
Nyatanya, baik Jokowi maupun Prabowo tidak pernah memberikan tanggapan terkait keberadaan perang ‘cebong vs kampret’ ini. Lagi pula, salah satu faktor terbentuknya narasi ‘cebong vs kampret’ ya tentunya adalah kontestasi dari kedua tokoh ini.
Memang, upaya untuk meredam adanya perang ‘cebong vs kampret’ ini telah dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Tapi, sesuai dengan istilah “nasi telah menjadi bubur”, narasi ‘cebong vs kampret’ sudah terlalu memiliki makna politis.
Sehingga, rasanya untuk beberapa kontestasi politik beberapa periode ke depan, narasi ini akan terus ada di basis pendukung tiap kontestan Pilpres maupun Pemilu mendatang.
Kemenangan Pihak Ketiga Menjadi Kunci
Alternatif lain apabila menginginkan narasi ‘cebong vs kampret’ ini untuk usai adalah dengan memenangkan pihak ketiga atau pihak independen dalam kontestasi politik.
Karena, pada dasarnya narasi ‘cebong vs politik’ ini pada dasarnya sudah merembet ke cangkupan yang lebih luas. Jika pada awalnya kata ‘cebong’ hanya terafiliasi dengan pendukung Jokowi, kini kata ‘cebong’ diafiliasikan dengan orang yang pro dengan pemerintah. Bahkan, di beberapa kasus, orang-orang yang sebenarnya hanya mengapresiasi kinerja pemerintah dapat dicap sebagai seorang ‘cebong’ oleh pihak ‘kampret’. Pun sebaliknya, orang yang kritis terhadap pemerintah akan dicap sebagai seorang ‘kampret’ oleh para ‘cebong’.
Sehingga, rasanya kemenangan pihak ketiga atau independen menjadi kunci untuk menyudahi narasi ‘cebong vs kampret’ ini. Namun, kehadiran pihak independen rasanya sulit terjadi apabila sistem politik di Indonesia masih menggunakan presidential threshold.
Pada akhirnya masyarakat Indonesia kini hanya dapat menunggu waktu saja sampai akhirnya narasi ‘cebong vs kampret’ ini berakhir. Tidak ada yang tahu kapan narasi ini akan berakhir. Mungkin, pada akhirnya narasi ini menjadi narasi abadi dalam kontestasi politik Indonesia.