Bulan Agustus ini, salah satu transportasi publik yang ditunggu oleh masyarakat Indonesia terlebih para kaum pekerja, akan dapat digunakan pertengahan bulan Agustus ini. Light Rail Transit (LRT) akan dapat digunakan pada pertengahan bulan Agustus ini.
Tentunya, hal ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah Jabodebek untuk memudahkan mereka bertransportasi secara mudah dengan menggunakan transportasi publik.
BACA JUGA: Daftar 18 Stasiun yang Bakal Disinggahi LRT Jabodebek
Namun, nyatanya sebelum peluncurannya nanti, LRT nyatanya memiliki berbagai catatan tersendiri. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam acara InJourney Talks, Selasa (01/08/2023) kemarin.
Wamen BUMN mengungkapkan, setidaknya terdapat enam komponen dalam proyek LRT ini, antara lain prasarana yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk, kereta oleh PT INKA (Persero), software development oleh Siemens, dan persinyalan dikerjakan oleh PT Len Industri (Persero), dan lainnya.
Lantas, apa yang menjadi catatan penting dari LRT ini?
Absennya Sistem Integrator
Catatan pertama yang diungkapkan oleh Wamen BUMN terkait LRT adalah tidak adanya sistem agregator pada proyek LRT ini. Sehingga, dalam pengerjaannya, LRT terbilang dikerjakan secara ‘liar’ tanpa adanya integrator ditengah pengerjaannya.
Dengan absennya sistem integrator dalam proyek LRT ini, muncul berbagai catatan lain seperti:
Salah Desain pada Longspan LRT Jabodebek Gatsu-Kuningan
Saat menghadapi proyek ini, Tiko menciptakan Project Management Office (PMO) untuk memastikan integrasi proyek berjalan lancar. Namun, dia juga menemukan beberapa masalah dalam proyek ini, salah satunya terkait dengan jembatan yang menghubungkan Gatot Subroto ke Kuningan, yang menurutnya terdapat kesalahan dalam desainnya.
Menurut Tiko, masalah tersebut terjadi karena saat Adhi membangun jembatan tersebut, dia tidak menguji sudut kemiringan kereta. Sehingga, saat ini, kendaraan harus melambat ketika berbelok karena tikungan yang dibuat terlalu sempit, seharusnya lebih lebar agar kereta bisa berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Tiko juga mengungkap bahwa masalah ini terjadi karena kurangnya komunikasi antara pembangunan prasarana dengan pembangunan sarana transportasi. Selain itu, dia menerima keluhan dari Siemens karena spesifikasi kereta yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan kenaikan biaya pada perangkat lunak. Spesifikasi yang berbeda tersebut mencakup dimensi, berat, kecepatan, dan sistem pengereman dari kereta-kereta tersebut.
Sebagai solusi, Tiko berusaha menangani masalah ini dengan memperluas toleransi pada perangkat lunak agar dapat mengakomodasi berbagai spesifikasi kereta yang berbeda. Dengan demikian, diharapkan masalah tersebut dapat teratasi.
(RRY)